Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Kamis, 10 Februari 2011

Valentine Oh Valentine

12973554541909328962

Dulu waktu saya kebetulan saya masuk dalam jurusan A1 sehingga teman-teman sekelas saya kebanyakan anak-anak alim (maksud saya yang cowok Remaja Mesjid sedangkan yang perempuan memakai jilbab lebar), cuma saya dan salah seorang teman yang beragama Islam yang tidak memakai jilbab, itupun karena Ibunya beragama Khatolik, begitu Ibunya masuk Islam dia pakai jilbab juga….sedangkan yang lainnya beragama Kristen dan sama dengan yang berama Islam, mereka juga Kristen kuat alias tiada hari Minggu tanpa dihabiskan di Gereja.

Jadi bisa dibayangkan suasana kelas saya yang agamis banget sampai-sampai untu orang seperti saya yang tidak terlalu taat beragama terkadang keadaan seperti itu menyesakan karena pada akhirnya pasti ada pemaksaan….uppppsssss malah curcol……..

Namun yang paling saya ingat ketika Valentine, ketika guru-guru dan teman-teman saya yang taat beragama melarang perayaan hari kasih sayang tersebut.  Bahkan ada guru saya “menfatwakan” haram pada perayaan tersebut.  Saat itu ada beberapa anak yang “ditahan” guru gara-gara memakai pernak-pernik pink.

Saya sendiri juga terpaksa gigi jari karena pengen juga sih merayakan keriaan Valentine seperti remaja di Jakarta yang ditulis di majalah-majalah remaja, karena ternyata teman-teman sekelas saya baik yang Islam dan Kristen sama-sama tidak merayakannya.  Kalau yang Islam jelas karena haram, kalau yang Kristen saya lupa alasannya apa….Hal ini membuat saya sadar ternyata gak Islam aja yang “mengharamkan” Valentine namun Kristen juga tidak menganjurkan perayaan ini.

Ketika saya kuliah, saya mengambil kursus Bahasa Perancis.  Salah satu gurunya adalah Dosen lulus
an S2 dan S3 sebuah Universitas di Paris.  Dia bercerita bahwa dia Perancis tidak ada istilah merayakan Valentine walaupun mereka tahu bahwa tanggal 14 Februari adalah hari Valentine.

Setelah mendengar cerita itu saya jadi bertanya-tanya lha terus bener gak sih Valentine adalah budaya eropa??  Lha orang Eropa sendiri santai-santai aja tuh menghadapi Valentine.  Dan yang pasti juga budaya atau ajaran agama Kristen karena umat Kristen sendiri tidak merayakannya???  Atau hanya budaya populer, budaya ciptaan pasar agar setiap 14 Februari semua barang berwarna pink dan coklat dapat laku terjual…..hehehehehehe……

 Jadi bagi saya tidak usahlah terlalu serius mengurus Valentine, meminjam istilah salah satu kompasioner “Jangalah terlalu menguras tenaga hanya untuk mengurus satu hari yang tidak penting”, namun akan bijaksana jika kita mempergunakan momen Valentine untuk memberikan pesan-pesan kasih sayang, safe sex atau menghormati guru, teman dan orang tua misalnya daripada ribut tiap tahun untuk melarang namun jadinya hanya pekerjaan sia-sia.  Karena kalau ngomongin soal kebiasaan atau upacara kaum pagan, banyak ritual mereka sudah diadopsi oleh kita seperti perayaan Tahun Baru, Hari Ibu bahkan menikah memakai baju putih itu juga adalah Budaya Pagan, seperti beberapa ulama yang mempergunakan momen Tahun Baru untuk berdakwah…..kenapa gak kan????

Happy Valentine semuaaaaaaaaaaaaaa………..

Selasa, 08 Februari 2011

Negara Saya Republik Indonesia belum berganti menjadi negara agama

Saya tidak tahu apa yang terjadi pada negeri saya, tiba-tiba saja bangsa saya saling menyerang atas nama agama. Saya takut karena ada banyak contoh dimana ketika perang sudah mengatasnamakan agama maka sebuah negara akan hancur pora poranda. Lihat saja Lebanon. Bapak saya pernah cerita dulu jika Soekarno berpidato tentang kerukunan umat beragama beliau selalu mencontohkan Lebanon namun hanya karena masalah pengungsi Palestina dan uang dari Israel, negara mereka jadi hancur karena perang antar golongan atas nama agama.

Kerukunan agama negara indonesia selalu dicoba kekuatan ikatannya hanya karena perbuatan segelintir orang. Coba lihat saja hanya karena masalah beda Nabi aja Ahmadiyah diserang sampai meninggal 3 orang lalu ketika satu orang menghina agama maka satu kota hancur, 3 rumah ibadah dibakar dan satu mobil polisi dihancurkan. Masalah sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin.

Pengrusakan seperti itulah yang membuat nama sebuah agama menjadi jelek jadi jangan salahkan jika kebesaran agama tersebut jadi hancur. Apakah harga sebuah nyawa sebanding dengan masalah klaim Nabi? Apakah masalah hukuman seorang yang menghina agama sebanding dengan hancurnya sebuah kota bahkan negara?

Saya ingin tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan di Negara Islam, atau Kristen ataupun Budha atau Hindu Indonesia. Apakah keinginan saya salah?? Toh founding father negara ini ketika mendirikan negara ini sadar bahwa Indonesia tidak bisa dan tidak akan pernah hidup dengan didasari oleh satu agama tapi Indonesia didirikan dengan pondasi berbagai agama dan bermacam kepercayaan.

Jumat, 04 Februari 2011

Bersyukur Maka Dunia Akan Indah

Saya bukan tipe orang mudah bersyukur, bagi saya semua pasti ada kurangnya dan itu patut dikritik.  Kayak bulan ini uang saya habis untuk bayar hutang, maka dengan sinis saya akan berpikir betapa kurangnya gaji yang diberikan kantor tempat saya bekerja, sampai saya harus terjebak dengan hutang yang tidak jelas.

Jika ada bencana, maka saya dengan sinisnya menyerang pemerintah yang selalu lambat memberikan bantuan (yang memang kenyataannya seperi itu) tanpa saya pernah membantu orang-orang yang non-pemerintah, non-partai dan non-komersialisme bencana, orang-orang yang benar-benar tulus bertekad membantu korban bencana.  Saya memilih meributkan pemerintah yang tidak pernah memuaskan saya, tetapi menutup mata pada ketulusan orang-orang itu.

Atau ketika saya antri di halte busway Ragunan, saya selalu meruntuki keadaan pagi yang begitu tegang dengan antrian lebih panjang daripada halte busway itu sendiri.  Waktu menunggu antrian lebih lama daripada naik busway menuju kantor saya.  Bahkan seringkali emosi naik karena ada orang yang menyalib antrian bahkan pria-pria yang dengan senang hati berdesakan dan mendorong antrian.  Rasanya mau pecah kepala ini jika memikirkan untuk menghadapi setiap pagi aja rasanya kepala mau pecah.

Lalu pekerjaan yang semakin lama semakin berat untuk gaji yang tidak seberapa menambah pusingnya kepala saya.  Saya punya tanggungan ini, itu yang ketika saya bayar maka sisa uang yang bisa saya gunakan hanya sedikit.  Sehingga campuran dari semua itu melahirkan sinisme-sinisme kehidupan di kepala saya yang kemudian berujung pada sifat apatis dan tak percaya diri.

Saya punya cita-cita dan harapan dalam hidup ini, karena saya sadar saya tidak mungkin hidup dari hari demi hari karena itu sama saja saya robot namun harapan, cita-cita dan impian saya lebur bersama berjalan waktu dan kerasnya kota ini.  Saya sedih ketika saya menyadari betapa banyak waktu yang saya habiskan namun tak satupun cita-cita saya terealisasi, dan kemudian saya merasa kalah, yah saya adalah manusia kalah yang tidak punya harapan atau tujuan untuk maju.  Itu yang membuat saya malu dengan teman-teman, keluarga dan juga lingkungan saya, karena saya tidak punya apapun yang dibanggakan ketika banyak orang diusia saya mulai mempunyai kehidupan yang mapan, saya masih bergulat dengan masalah keuangan.

Atau ketika diusia 30-an banyak yang sudah mapan menjadi suami istri saya baru mencari dan mencari calon pendamping hidup sampai ada saatnya saya sempat tidak yakin saya akan menemukannya.  

Bulan Desember 2010 saya tanpa sengaja membaca kutipan kata-kata seorang penulis Afrika Amerika bernama Maya Angelou.

If you don't like something, change it. If you can't change it, change your attitude.


Kalau kamu tidak menyukai sesuatu, rubahlah.  Jika tidak bisa kamu rubah, maka rubahlah sikap mu.


Banyak hal yang saya tidak bisa rubah dalam hidup ini, namun banyak juga yang bisa saya rubah dalam hidup ini.  Saya tidak bisa merubah antrian di Halte Busway Ragunan, sehingga saya harus merubah sikap saya menghadapinya, yaitu menertibkan diri sendiri, lalu berangkat lebih pagi dan mungkin untuk mengisi waktu dalam antrian saya bisa membaca buku. 
Bahkan gara-gara saya membaca buku Ranah 3 Warna yang ditulis oleh A. Fuadi, dimana Alif disuruh memandang ke bawah bukan hanya meratapi nasib, saya menjadi punya positif thinking ketika menghadapi antrian, bahwa saya bersyukur saya natri busway pagi ini karena itu artinya saya masih kerja ketika ribuan orang di negeri ini susah mendapatkan pekerjaan, saya masih bisa menghidupi diri saya sendiri dimana masih ribuan orang-orang seusia menadahkan tangan mereka pada orang tua dan kantor saya masih membutuhkan saya ketika banyak orang di PHK.  Agar tidak lupa dengan perasaan itu, tiap kali saya pergi ke kantor saya tuliskan kata-kata itu di twitter, sehingga saya bisa berbagi sedikit positif thinking pada teman-teman saya.

Ketika saya berpikir kenapa jabatan saya tidak naik-naik sehingga rasanya stuck maka pikiran negatif akan muncul dengan sendirinya.  Namun sekarang saya bisa berpikir bahwa saya berkerja terlalu biasa tidak ada istimewanya karena saya juga merasa diri saya biasa tidak mau berusaha lebih, jadi saya harus berusaha lebih agar saya bisa naik jabatan.  Dilain pihak dengan jabatan yang sekarang saya punya lebih banyak kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman baru, melakukan sesuatu yang lain di luar kantor tanpa harus terjebak dengan meeting dan tentu saja saya tidak terlalu tertekan.

Bersyukur bukan berarti kita menerima semua keadaan lalu kemudian kita hanya pasrah buta dengan keadaan.  Bersyukur juga membuat saya berpikir untuk melakukan lebih banyak lagi karena saya sadar saya punya lebih banyak kesempatan daripada orang lain.  Saya berpikir untuk kuliah lagi dengan biaya sendiri walaupun saya tahu saya harus mengecangkan ikat pinggang agar biaya kuliah saya terpenuhi.  Pemikiran itu hadir ketika saya menyadari otak saya masih sanggup untuk kembali sekolah, saya masih gajian setiap bulannya dan kalau saya membandingkan saya dengan tokoh Alif di Ranah 3 Warna dan Matari di 9 Matahari maka rasanya saya malu jika saya tidak bisa kuliah lagi meneruskan cita-cita saya dan impian Bapak saya.

Sekarang dunia saya indah ketika saya pandang karena saya punya semangat positif dalam diri saya.  Jangan anda kira hal ini tidak punya halangan, banyak sekali halangannya.  Seperti kemarin ketika saya sedang bersemangat dan ingin lebih berusaha, tiba-tiba saya dapat kabar hasil gambar shooting tidak sesuai dengan harapan alias jauh dari kualitas yang kami anggap standart.  Ini akibat kepongahan seorang camera man senior, tetapi saya tidak menyesali dan lalu menyalahkan dia sekarang karena editing harus tetap berjalan dan hasilnya harus tetap disiarkan.  Saya mencoba tenang dan positif thinking bahwa semua masalah dapat diatasi.  Walaupun dengan usaha yang maksimal dan hasil yang kurang maksimal, masalah itupun dapat diatasi.  Sisi positif lainnya dari peristiwa ini memang kita tidak bisa membuat keajaiban merubah segala sesuatunya tiba-tiba jadi bagus namun pasti ada jalan menuju kesana.


Seberapakah penting kah pendidikan itu??

 Selama berhibernasi dari menulis blog saya mengejar target menyelesaikan membaca 3 buah buku, pertama buku The Einstein Girl, Ranah 3 Warna dan 9 Matahari (akhirnya saya membaca juga buku 9 Matahari).  Walaupun ketiga mempunyai jalan cerita yang berbeda namun ketiganya mempunyai kesamaan, sama-sama mengejar impian dalam pendidikan.

Baiklah untuk mempermudah maka saya akan menjelaskan secara ringkas dan padat garis besar ketiga buku tersebut.  Pertama, The Einstein Girl adalah sebuah novel sejarah yang terinspirasi dari kisah nyata salah satu sisi kehidupan Albert Einstein.  Ternyata Albert Einstein mempunyai anak perempuan yang lahir setahun sebelum dia menikah dengan istri pertamanya.  Diceritakan dalam buku ini, anak tersebut bernama Mariya Dragonovic sangat pintar dalam bidang matematika dan fisika sehingga pada saat itu kepintarannya malah dicibir.  Keberuntungannya adalah ketika dia kuliah, dia adalah generasi pertama mahasiswi di universitas-universitas Zagreb yang menerima perempuan pada tahun 1920-an.

Buku kedua adalah Ranah 3 Warna yang merupakan buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi.  Kali ini Alif sudah lulus Pondok Madani dan kemudian diterima di Universitas Padjadjaran jurusan Hubungan Internasional.  Kuliah di Bandung bukan lah hal yang mudah bagi Alif karena ditengah perjalanan, Ayahnya meninggal sehingga dia sampai ingin putus asa untuk meneruskan kuliahnya.  Namun dengan tekad dan usaha yang kuat akhirnya Alif bisa menyelesaikan kuliahnya bahkan sempat merasakan pertukaran mahasiswa ke Kanada.

Buku ketiga yang baru saja selesai saya baca adalah 9 Matahari karangan Adenita.  Hampir sama kisahnya dengan Alif, tokoh dalam buku ini Matari ingin mengejar cita-citanya menjadi sarjana Ilmu Komunikasi.  Karena tidak punya uang untuk kuliah ditambah diterima di program ekstensi yang butuh dana lebih daripada program reguler, Matari sanggup berhutang bahkan sampai puluhan juta rupiah.  Bukan hanya soal uang namun juga masalah di rumah membuat Matari sampai depresi.  Tetapi karena tekadnya sudah bulat untuk jadi sarjana, walaupun waktu kuliahnya lama akhirnya Matari berhasil meraih impiannya.

Dalam pikiran saya ketiga buku ini sebenarnya berkutat dalam masalah yang sama, pendidikan.  Tetapi sebenarnya seberapa penting kah pendidikan sampai-sampai banyak orang tua bahkan orang tua saya sendiri berkorban begitu banyak untuk pendidikan anak-anaknya?

Apakah pendidikan berhasil atau tidaknya hanya ketika seseorang itu sudah sah mencantumkan nama tambahan di belakang atau di depan namanya??

Dulu saya pernah membaca di sebuah artikel yang saya lupa siapa penulisnya dan isi tepatnya, namun garis besarnya adalah orang Indonesia banyak yang ingin menjadi bangsawan dengan memakai gelar pada namanya karena dengan begitu mereka akan dihormati dan disegani.  Kalau jaman dulu gelar bangsawan dibawa dari lahir atau mendapatkan kehormatan khusus dari raja atau sultan namun sekarang gelar bangsawan yang terbaru adalah gelar pendidikan, dimana semua orang punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.  Jadi jangan heran jika di Indonesia, bahkan gelar AMd saja harus ditulis dan disebutkan, karena artinya dia adalah bagian dari elit bangsawan dalam pendidikan.  Dan jangan heran pula jika banyak orang yang rela meronggoh kantong demi menumpuk gelar di depan dan di belakang namanya agar tingkat kebangsawanannya dalam pendidikan semakin tinggi.

Jadi tidak salah jika ketika saya membaca buku Sekolah Itu Candu, bahwa sekolah itu  hanya membuat orang mencandu namun tak pernah realisasi keilmuan dari sekolah karena sistem masyarakat kita adalah gelar dan gelar sehingga tidak ada tempat bagi orang-orang autodidak di negeri ini.

Oprah Winfrey pernah berkata bahwa dengan pendidikan kita akan mempunyai kebebasan, namun dia mungkin belum pernah merasakan tinggal dan mengenal budaya Indonesia, dimana pendidikan hanya akan menjadi sekolah yang mengurung kebebasan dalam proses pendidikan.  Mungkin setelah dia tahu dia akan menyesal mengatakan hal tersebut.

Jadi seberapa pentingkah pendidikan jika hanya akhirnya hanya mencapai garis finish yang ditandai dengan gelar?  Toh gelar sepanjang jalan kenangan itu hanya berguna ketika naik pangkat, melamar pekerjaan dan paling mentok ditulis dalam undangan pernikahan.  Lucunya semakin banyak gelarnya membuat saya sangsi apakah dia benar-benar ahli dalam ilmunya karena saya pernah menemui seorang da’i memasang gelarnya mulai dari Drs, S.Ag, MA, MSc sampai SH di sebuah spanduk di kota asal saya.  Sampai-sampaui namanya lebih panjang daripada nama acara tersebut.  Toh banyak lulusan S2 namun wawasannya tak lebih dari lulusan SMA atau malah sebaliknya banyak lulusan SMA yang wawasannya melebihi lulusan S3.

Jadi sebenarnya seberapa penting kan pendidikan itu??  Jika toh tanpa gelar seperti seorang mahasiswa IPB yang KKN ke Ambon namun memutuskan untuk tidak kembali meraih gelarnya agar dia bisa membantu petani dan nelayan di Ambon.  Toh akhirnya IPB sadar diri dan bangga karena inilah yang mereka harapkan dari mahasiswa/alumni-nya.

Saya sendiri menghormati salah seorang Pak De saya yang meraih gelar S3 di bidang Teknik Mesin di Jerman.  Bukan karena dia mempunyai gelar S3 karena bagi dia dan juga saya gelar adalah bonus, namun kesempatan belajar dan diuji hasil belajar itu yang penting.  Apalagi beliau berhasil belajar pada ahli-ahlinya di Jerman, di negara yang terkenal menghasilkan ilmu-ilmu teknik.  

Lucunya Pak De saya tidak pernah keberatan nama gelarnya tidak dicantumkan atau salah dituliskan, karena dia memang membutuhkan ilmunya untuk mengajar generasi baru teknik mesin bukan gelarnya…..itulah makanya saya menghormati beliau karena saya tahu betapa susahnya dia mendapatkan gelar itu, sedangkan orang yang meraih gelar secara obral namanya ditulis tanpa gelar dan salah, ngamuknya setengah mati.

Sumber gambar : theembassyofafghanistas.org

Cari Blog Ini