Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Minggu, 26 Agustus 2012

Mari Menari Tango Dalam Cinta

Judul : Tango
Penulis : Goo Hye Sun
Penterjemah : Dwita Rixky Nientyas
Penerbit : Ufuk Fiction 2012
Halaman : 307 Halaman
Saat menari, seorang harus tahu caranya melepaskan dirinya sendiri.  Dia harus tahu caranya mempercayai pasangannya.  Apalagi saat seseorang menari Tango.  Kau harus melepaskan dirimu sendiri

Tango, Halaman 94

Alasan sesungguhnya saya membeli buku berjudul Tango ini karena sosok penulisnya, Goo Hye Sun.  Sosok cantiknya saya kenal pertama kali di Serial Drama Korea yang berjudul Boys Over Flowers.  Perannya sebagai Geum Ja Di yang tomboy dan temperamental sekaligus baik hati dan naif  telah merebut hati saya.  Jadi saya pikir tidak masalah lah sekali-sekali membeli kucing dalam karung terhadap buku yang terjual 30.000 Copy pada minggu pertama diterbitkan.

Saya sempat berprasangka buruk terhadap kualitas karya mantan personil 2NE1 ini.  Ini berdasarkan kekecewaan saya membaca banyak karya selebriti dalam negeri yang menggunakan bahasa-bahasa sastra namun saya sama sekali tidak mengerti isi dari novelnya tersebut.  Hampir saja saya menemukan kekecewaan yang sama terhadap karya Goo Hye Sun di dua bab awal.  Setelah saya paksa diri saya untuk terus membaca ke bab-bab selanjutnya, saya merasa ikut merasakan perasaan tokoh Yun, perasaan natural ketika patah hati, bimbang dan jatuh cinta.  Akhirnya saya sedikit mengintip ke halaman akhir untuk mengetahui akhir dari perjalanan cinta Yun karena terlalu penasaran.

Karya Artis Korea yang sedang memulai debut menjadi sutradara ini bercerita tentang Yun, seorang perempuan berumur 20 tahunan.  Yun yang bekerja sebagai penterjemah ini diputuskan oleh Joong Won, kekasihnya selama 2 tahun.  Alasan Joong Won memtuskan hubungan mereka karena pria pelukis ini merasa dia sedang menari Tango sendirian selama 2 tahun usia hubungan mereka.  Keputusan Joong Won ini membuat Yun patah hati dan mulai mencari cara agar Joong Won kembali kepadanya.

Dalam proses menyembuhkan patah hatinya, Yun bertemu dengan dua pria yang sama-sama tertarik dengan dirinya yaitu Min Young seorang pria dewasa yang siap untuk menikahi dirinya dan Si Ho yang polos dan spontan dan mantan kekasih dari teman Yun, bernama Eung Yi.

Selain itu ada sahabat setia Yun yang bernama Hee Dae, seorang pelayan Cafe yang gay dan terlihat tidak pernah serius, namun sebenarnya dari Hee Dae lah Yun mendapatkan nasihat-masihat yang selalu tepat dalam menghadapi setiap masalah.
Aku tidak mengartikan gay sebagai orang yang melenceng, melainkan orang yang memperlakukan orang lain yang tulus.  Mereka bukan penyuka sesama jenis, melainkan mereka orang yang mereka sukai kebetulan memiliki jenis kelamin sama dengannya.  Masyarakat yang kejam telah mengasingkan mereka.  Namun mereka juga sangat kuat.  Mereka adalah kelompok yang sangat kokoh menurutku.  Sosok mereka malah terlihat lebih manusia.  Tidak semua penyuka sesama jenis seperti itu, tapi setidaknya temanku bernama Hee Dae seperti itu.  Hee Dae lebih baik daripada orang biasa, dia orang baik

Tango, halaman 124 - 125

Sebagai orang yang ingin menjadi penulis, saya kagum dengan Goo Hye Sun yang menjadikan Tarian Tango sebagai filosofi hubungan percintaan Yun.  Bahkan filosofi Tarian asal Argentina ini membuat saya kembali merenungi arti hubungan antara manusia.  Lancar sekali Goo Hyen Sun menuliskannya seakan Tango dan manusia tidak dapat dilepaskan keduanya.

Walaupun terjemahan buku ini agak kaku, namun buku ini pantas dijadikan bacaan.  Penuh dengan perenungan namun tidak terasa berat ketika membacanya.  Dengan kata-kata yang puitis dan dihiasi ilustrasi karya penulisnya sendiri, buku ini berhasil membawa saya mengerti bahwa cinta itu seperti menari Tango.  Bukan hanya itu, buku perdana Goo Hye Sun ini juga membuat saya mengerti akan masalah sosial dan budaya yang sedang dihadapi oleh masyarakat Korea Selatan khususnya perempuan dan gay saat ini.



Jumat, 17 Agustus 2012

Dirgahayu Indonesia

Rasanya gak adil kalau saya tidak menulis sedikit tentang Hari Kemerdekaan Indonesia, sedangkan saya menulis begitu banyak hal.

Kemarin saya membaca beberapa twit dari adik kelas saya tentang refleksi 67 tahun Kemerdekaan Indonesia.  Sebagai anak yang lahir besar di Bontang, dengan segala fasilitas perusahaan kelas 1 sehingga dia tidak perlu merasa kekurangan dan punya banyak kesempatan dalam hidupnya, bagi saya refleksi negatif untuk Indonesia terlalu dibuat-buat.

Mulai dari masalah korupsi, kemiskinan, pemerintahan sampai sistem pendidikan bahkan pertikaian antar golongan membuat adik kelas saya men-twit-nya seakan-akan dia peduli dengan negara ini.

Inilah masalahnya, menjadi sinis dan negatif adalah keren di negara ini.  Bangga, patriotisme dan Nasionalis adalah basi di negeri ini.  

Ketika melihat kemiskinan, jangan protes jika tidak berbuat sesuatu untuk merubahnya.
Ketika mengetahui korupsi, jangan protes ketika kita diam dan masih membayar uang pelicin untuk mengurus KTPP.
Ketika kita sadar pendidikan kita sudah gak beres, jangan protes ketika kita masih mengharapkan rangking nomor 1 dari anak-anak kita.
Ketika benci dengan pemimpin kita yang kayaknya kok gak beres-beres, jangan protes jika kita sendiri tidak bisa memimpin diri kita sendiri untuk disiplin dan bertanggung jawab dalam menunaikan kewajiban kita.
Ketika kita kecewa dengan pertentang antar golongan atau agama, jangan protes kalau kitanya sendiri masih merasa agama kita yang pantas hidup dan merdeka sendiri di negeri ini.

Jadi daripada protes terus, ngeluh terus mending buatlah sedikit perubahan pada diri kita sendiri. 

Berlayar di Perahu Kertas

Sejak jaman Dewi Lestari menerbitkan buku Akar dan kawan-kawannya, saya bukan dan sama sekali bukan fans penulis yang bersuamikan Reza ini.  Bagi saya karya-karya mantan personil  group vocal Rida, Sita, Dewi ini absurd dan gak bisa dimengerti oleh jalan pikiran saya.

Jadi waktu diajak teman untuk menonton film Perahu Kertas, saya sebenarnya gak berharap banyak.  Lha wong bukunya aja di rak buku saya sampai menguning belum pernah saya sentuh apalagi saya baca.  Tujuan saya nonton biar terhindar dari tugas aja....hehehehehehe.....(maaf yah teman-teman....)

Karena gak berharap banyak jadi pas mau nonton saya sudah pasrah jika nanti tertidur pas filmnya main...parah yah...untungnya pas opening tittle ada nama Hanung Bramantyo tertulis disitu.  Tiba-tiba saya jadi punya sedikit harapan dengan nih film, harapan nih film gak akan terjebak dalam dinamika remaja klise yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan sekejap plus menjual airmata yang gak berhenti sampai akhir film.

Adegan awal masih belum bisa membuat saya tertarik apalagi pas adegan Kugy menggunakan antena Neptunus untuk menemukan Keenan di stasiun Kereta Api menurut saya terlalu dan amat sangat dibuat-buat.  Emang ada cewek segitu polos dan terjebak dalam dunia khayal?  Rasanya gak ada deh.

Saya terus memaksakan mata saya untuk bertahan walaupun kelopak matanya saya juga tidak mau kalah dengan keinginan saya.  Begitu adegan Keenan mengetahui bahwa nama lengkap Kugy adalah Kugy Karma Chameleon, saya langsung tersenyum lebar karena dari situ saya tahu Dewi Lestari bukan penulis novel biasa, beliau adalah penulis novel dengan misi dan visi, yang memberikan hiburan sekaligus pengetahuan kepada pambacanya.  

Karma Chamaleon adalah lagu yang saya suka ketika saya masih kecil.  Saya lupa pertama kali saya dengar lagu itu tetapi irama lagu Karma Chamaleon dan gaya Boy George dalam Music Videonya masih lekat di ingatan saya.  Dan anehnya tidak semua orang yang mengerti lagu itu padahal baca bukunya juga lho.....sayang banget padahal lagu itu seperti mendasari cerita Perahu Kertas.

Dari adegan itulah saya, maka saya bisa melihat titik terang cerita dalam Film Perahu Kertas.  Cerita tentang Kugy dan Keenan yang harus mengalami naik turunnya percintaan mereka.  Kisah mereka tetap menarik dan menyetuh walaupun tanpa ada sentuhan tangisan (norak) khas film romantis produksi tanah air.  Bahkan humor-humor yang terlontar begitu cerdas dan tentunya gak garing.

Saking mulusnya film ini gak sadar 2 jam saya habiskan menonton film ini.  Bahkan editing kasar dan maksa khas film-film Indonesia hampir tidak ada....mulus lus kayak jalan tol Jakarta pas Lebaran.  Sinematografi pun indah dengan gambar-gambar yang mengingatkan saya pada keindahan dunia mimpi ketika saya masih punya mimpi.  Bahkan property yang digunakan seperti HP pun disesuaikan dengan setiap setting yang digunakan sebagai latar belakang.  Bukan hanya itu jam tangan dan miniatur Kura-Kura Ninja bukan hanya menjadi hiasan semata tetapi juga menguatkan karakter Kugy yang memberi nama Gangnya Pura-Pura Ninja.

Kalaupun ada yang kurang adalah akting para pemain yang masih kaku.  Hanya beberapa yang bisa membuat saya mengacungi jempol, seperti akting Tio Pakusadewo yang jadi Pak Wayan begitu meyakinkan, bahkan seperti gak ngelihat Tio Pakusadewo tapi ngelihat Pak Wayan main film.  Lalu akting yang jadi Eko juga bagus dan menyenangkan.  Yang jadi Remmy juga natural, jadi senang ngelihat. Lucunya kemunculan Titi DJ sebagi cameo di film ini mengingatkan saya pada jaman-jaman Titi Dj di Lenong Rumpi.

Yang mengecewakan adalah akting Ira Wibowo yang berkesan kaku dan kelibas sama akting August Melasz dan Tio Pakusadewo.  Saya juga gak suka akting yang jadi Gadis Bali, kaku kayak robot.  Yang jadi Wanda juga aneh banget, sedangkan yang jadi Noni yah so...so lha.  Sedangkan yang jadi Kugy....hhhhhhmmmmmm kalau saya sih kurang puas yah ngelihat aktingnya, apalagi yang jadi Keenan...kayak mereka berdua harus mengeksplor lagi.

Tetapi bukan Hanung Bramantyo jika beliau tidak bisa mengatasi akting pemainnya yang kaku.  Hanung memang jagonya menempatkan pemeran sesuai dengan kelebihan masing-masing.  Mungkin beliau tahu bahwa dia tidak bisa menantang para pemainnya dengan berlebihan seperti layaknya Tio Pakusadewo, jadi suami Zaskia Mecca ini memanfaatkan karakter asli para pemainnya dengan karakter yang harus dimainkan dalam Perahu Kertas.

Hebatnya lagi walaupun dari sisi komersil dapat banget, Hanung juga tidak melupakan sisi artistik dalam film ini, jadi rasanya menyenangkan menonton film ini, bahkan saya sudah gak sabar menunggu bagian kedua film Perahu Kertas.  Ketika saya membaca bagian akhir buku Perahu Kertas, Dewi Lestari menuliskan bahwa beliau ingin menulis tentang proses pendewasaan seorang perempuan yang terinspirasi dari komik Jepang yang berjudul Popcorn.  Wow saya jadi tidak sabar berlayar kembali bersama Kugy dan Keenan menuju titik akhir dalam perjalanan cinta mereka.  Mudah-mudahan tak lama lagi.


Senin, 13 Agustus 2012

Hanya kita.....

Saya akhirnya mengerti mengapa teman saya memutuskan untuk resign dari tempat kami bekerja.  Kadang ketika suatu tempat sudah tidak memberikan apa yang kita inginkan dan tidak ada lagi yang menahan, maka keputusan yang terbaik adalah melangkahkan kaki untuk pindah dari tempat tersebut.

Ketika suatu tempat sudah membuat stuck maka hanya kita sendiri yang mampu membuat diri kita untuk melangkah, entah ke depan, ke samping, entah ke belakang, kemanapun kita melangkah kemanapun tujuan kita, kita harus mendapatkan tempat yang nyaman untuk menjadi diri sendiri dan mengembangkan diri kita sendiri.

Saat kita merasa, kita tenggelam bersama dan orang yang bisa menyelamatkan kita lebih memilih orang lain, maka sudah saatnya kita berenang sendiri menuju tempat lain, jangan sampai menunggu kita tenggelam, kemudian mati dan dienyahkan dari kehidupan kita sendiri.




Minggu, 12 Agustus 2012

Burungpun Ingin Terbang

Burung pun ingin terbang
Walaupun daam sangkar kenyamanan
Kebebasan jiwa
Yang dia kejar

Ketika waktu sudah memenjarakan
Dan tempat sudah membuat dinding
Kebebasan jiwa pun berontak

Burung Gereja terbang
Mengepakkan sayapnya
Bersiul indah diantara kabel dan atap rumah bobrok
Tapi dia bahagia....dia bahagia

Hanya kamu yang mengerti itu
Panggilan Burung-Burung Gereja
Seakan berkata
"Larilah........kejarlah......."

Dan akupun hanya bisa melepaskan
Karena aku bukan sangkarmu
Karena aku bukan tembokmu
Karena aku adalah temanmu.....

Jakarta, 13 Agustus 2012
Untuk seorang teman....

Senin, 06 Agustus 2012

In Love With Amos Lee

Saya punya lagi suka sama seorang cowok, kebetulan nih cowok keturunan Tionghoa dari Singapura, jago berenang, suka menulis diary dan blos  ditambah  masih brondong karena umurnya masih 12 tahun, namanya Amos Lee.  Saya suka dia karena dia punya diary yang menuliskan kegiatan sehari-harinya dengan penuh humor.  Jadi saya suka baca sambil ketawa-ketawa sendiri.

Sayangnya saya gak bisa ketemuan langsung sama Amos Lee, selain karena masih dibawah umur (maaf yah sama bukan Pedofilia...hehehehe), Amos Lee adalah karakter fiksi ciptaan Adeline Foo, seorang penulis asal Singapura.  Saking "hidup"-nya karakter Amos Lee, saya merasa dia hidup beneran.  Bahkan sering saya membayangkan seperti apa Amos Lee kalau dalam keadaan nyata.

Amos Lee adalah karakter protagonis dalam serial buku Adeline Foo yang berjudul The Diary Of Amos Lee.  Sejauh ini saya sudah membaca tiga seri buku.  Buku yang sebentar lagi akan dijadikan serial televisi di Singapura ini, bercerita tentang seorang anak laki-laki bernama Amos Lee yang disuruh oleh Ibunya untuk menulis buku harian.  Jadi berceritalah dia tentang kehidupan kesehariannya secara sederhana, polos dan tulus, tentang keluarga, kebiasaan menulis di toilet, persahabatan sampai tentang musuh-musuhnya. 

Hebatnya buku ini walaupun berkesan sederhana dan polos, tetapi buku ini juga memberikan pengetahuan sejarah, agama, kuliner, sosial politik, pengetahuan umum, seks bahkan sampai etika dan kemanusiaan di Singapura tanpa ada kalimat-kalimat menggurui.  

 Ada 3 buku yang sudah terbit dalam edisi Indonesia.  Pertama adalah The Diary Of Amos Lee I Sit, I Write, I Flush, The Diary Of Amos Lee Girls, Guts and Glory dan The Diary Of Amos Lee I’m Twelve, I’m Tough, I Tweet!

Yang pertama akan saya bahas The Diary Of Amos Lee : I Sit, I write, I Flush.  Buku ini paling saya suka dari semua serial Amos Lee, karena ceritanya lucu banget khas anak kelas 4 SD.  Bagaimana Adeline Foo bisa menggambarkan perasaan Amos Lee yang harus berhadapan dengan Michael salah seorang anak terkuat yang suka mem-bully Amos.  Ditambah hobi Mama Amos yang membaca dan mengomentari tulisan Amos di diary.  Juga kesukaan Amos menulis diary di toilet.

Adeline Foo juga dengan sangat cerdas dan halus memasukan cerita sejarah Singapura, kuliner dan patriotisme dalam cerita keseharian Amos Lee.
This diary began as Mum’s New Year resolution to get me to write. She told me to write when I am doing my big business. “Five to eight minutes max!” she said. “I don’t want you to develop piles!” And so my writing in the bathroom began. My entries started with the boring old stuff… then Mum got this new job as a writer and, following her around, I got to do fun stuff, like ogle at deformed frogs, see into the future with a fortune-telling parrot and wow at a life-sized F1 car made of chocolate! That’s how I got more interesting things to write about. Plus, I had to deal with an EVIL bully who was tormenting me at school… thank goodness for my best friends, Alvin and Anthony, we rallied against the bully and got through this year with lots of adventures and good fun!

Yang kedua adalah The Diary Of Amos Lee : Girls, Guts, Glory.  Dalam buku ini, Amos Lee mulai mengenal ketertarikan dengan lawan jenis dan sedang menanti kelahiran adik keduanya.  Adeline Foo memasukan pendidikan seks secara cerdas dan sesuai dengan anak-anak dalam buku ini. 

Disini saya juga baru tahu ternyata di Singapura, program KB saking berhasilnya sampai mereka mulai kekurangan angka kelahiran.  Akhirnya pemerintahnya membuat program, siapapun yang punya anak ketiga dan seterusnya maka akan diberikan tunjangan anak.  Bandingkan dengan Indonesia yang mati-matian kembali mencanangkan program pembatasan kelahiran.

The story of Amos continues.  He is still writing his diary in the toilet, but he has found a way to hide it from Mum’s prying eyes.  Amos joins the school’s swim team and learns about hunger, not the sort to make you want to eat food, but the drive to excel and win medals in competitions!  The themes in Book 2 touch on family, friendship and loyalty.  Lessons are also drawn from Olympic legends like Michael Phelps, Carl Lewis and Sebastian Coe, in inspiring legions of young athletes to be the best in both studies and sports.  Amos seeks his Olympic dream, in this second installation.

Buku yang ketiga adalah The Diary Of Amos Lee :  I'm Twelve, I'm Tough, I Tweet.  Dalam buku ini Amos Lee sudah berumur 12 tahun dan mulai menulis blog atas permintaan gurunya.  Dia mempunyai blog yang membahas tentang PUP dari berbagai sudut pandang (dan tentu saja menarik dan lucu).  

Buku ini juga menceritakan bagaimana usaha Amos Lee agar terpilih sebagai Teen idol di sekolahnya.  Mulai lah Amos Lee belajar politik dan bagaimana me-manage kampanye dengan baik.  Tak lupa Adeline Foo mengajarkan patriotisme dan sportifitas dalam berpolitik.  Sekali lagi tanpa menggurui ala poltikus Indonesia yang selalu muncul berdebat gak jelas di TV.

Amos, in his last year in primary school, resolves to be voted as the most popular boy in school. But running against him is Michael, his arch enemy. In the fight for votes, Amos learns to tweet, but what he isn’t prepared for is the power of cyber warfare when Michael turns to YouTube and Facebook to cheat. Will Amos go down in the history of his school as the biggest twirp?
Kalau saya bisa memberi nilai untuk serial The Diary Of Amos Lee, maka saya akan beri nilai 8.95 dibawah Enyd Blyton yang saya kasih nilai 9.   Jadi wajib ain untuk dibaca....

Semua sinopsis dikutip dari  http://www.amoslee.com.sg/home.asp

Kamis, 02 Agustus 2012

Selamat Jalan Verdi, Selamat Menggapai Cita-Cita Yang Lain....

Saya dan Verdi

Bersama teman-teman di studio 8

Chief Verdi
Verdi adalah salah satu rekan kerja saya yang mulai dari awal Trans7 berdiri.  Sebenarnya kami bertemu pertama kali ketika saya masuk TransTV tahun 2005.  Dia anak magang di Insert dan saya BDP 5 di Insert.  Dia PA saya Reporter.  Setelah selesai magang dia balik ke Yogya untuk menyelesaikan kuliahnya di AKINDO.

Akhir tahun 2006, kami bertemu lagi.  Dia sudah bekerja menjadi camera man TV7, sedangkan saya diperbantukan menjadi PA di TV7 yang saat itu bertransisi menjadi Trans7.  Seiring berjalannya waktu, dia jadi koordinator Camera Person bersama Joe dan saya tetap jadi PA di Trans7.....hehehehehe....

Banyak yang sudah kami lalui bersama (maksudnya saya dengan teman-teman PA dan dia dengan tim Camera Person-nya).  Ketika pengurangan karyawan, Camera Man paling terkena dampaknya karena gak ada program televisi tanpa Camera Man (ada deng, On The Spot dan Hightlight....hehehehehe)...tapi saat itu kami belum kenal yang namanya download di youtube, jadi mau gak mau Camera Man harus ada di setiap program.

Maka, Verdi dan teman-teman Camera Man yang tersisa harus bekerja 4 kali lebih keras.  Bahkan beberapa gak tidur.  Malah ada teman tidur sambil berdiri pas shooting.  Saat-saat yang penuh kegetiran dan prihatin.  Mungkin itu yang harus kami lakukan pada saat itu karena hasilnya Trans7 bisa menjadi televisi swasta yang patut diperhitungkan.

Kalau inget semua perjuangan dulu, jadi sedih juga ngelihat Verdi akhirnya memutuskan untuk mengejar cita-citanya yang lain, yaitu menjadi Pilot Pesawat.  Ternyata selama ini diam-diam dia berusaha mewujudkan cita-citanya, mulai dari menabung sampai akhirnya dana cukup dan mendaftar sekolah Pilot di Filipina.  Wow....kagum saya......

Ternyata memang cita-cita memang patut dikejar dengan cinta dan sepenuh hati, kapan pun, dimana pun, bagaimana pun dan di umur berapa pun.  Ah jadi ingat cita-cita saya yang masih mentok di awang-awang nih....semoga saya bisa mewujudkannya juga yah....kalau emang butuh waktu 7 tahun lebih rasanya hanya waktu yang pendek untuk mengejar sebuah cita-cita.  Selamat Jalan Chief....selamat mengejar cita-cita yang tertunda.....do'akan saya juga bisa mengejar cita-cita saya juga.....Amin.....


Cari Blog Ini