Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Selasa, 25 September 2012

Tugas Dari Boss




Ditugasin sama boss untuk memblocking kamera program BBC Test The Nation.  Sebenarnya ini pekerjaan tricky karena kita gak tau secara tepat jumlah kamera program apalagi jika PD-nya bisa memaksimalkan jumlah kamera.  Namun untuk program ini, saya perkirakan ada 7 kamera yang terdiri dari satu kamera Porta Jib, 2 Kamera tripod, 2 kamera Handheld, 1 kamera master, 1 kamera Jimmy Jib.






Keterangan gambar :

1.                  Porta Jib dengan lensa standart, khusus digunakan jika host membacakan soal.

2.               Kamera Master menuju main set/ stage/ host gate, menggunakan lensa winde.  Digunakan untuk mengcover main set dan inframe host.  Dalam program ini memang pengambilan gambar master dibuat miring sekitar 45 derajat.


3.        Handheld, dengan lensa standart.  Digunakan ketika opening untuk mengambil gambar wide peserta/ tim dan digunakan ketika host mewawancara peserta sebagai kamera master.

4.        Handheld, dengan lensa standart.  Digunakan ketika opening untuk mengambil gambar wide peserta/ tim dan digunakan ketika host mewawancara peserta sebagai kamera master.


5.                  Kamera tripod, menggunakan lensa tele.  Ketika opening digunakan untuk mengambil gambar peserta/ tim dan ketika games atau wawancara digunakan untuk mengcover close up peserta.

5A.      Posisi kamera 5 ketika games atau wawancara.  Posisi dapat disesuaikan dengan tim yang akan dicover.  Posisi ini khusus untuk mengambil close up.

6.                  Kamera tripod, menggunakan lensa tele.  Ketika opening digunakan untuk mengambil gambar peserta/ tim dan ketika games atau wawancara digunakan untuk mengcover close up peserta

6A.      Posisi kamera 5 ketika games atau wawancara.  Posisi dapat disesuaikan dengan tim yang akan dicover.  Posisi ini khusus untuk mengambil close up.

7.         Jimmy Jib menggunakan lensa wide.  Digunakan untuk mengcover seluruh set.

Jumat, 21 September 2012

Pemilukada....


Kemarin tanggal 20 September 2012 Pemilukada DKI Jakarta.  Sebagai warga DKI yang baru saja memegang KTP DKI selama 5 tahun tentu saja saya ikutan nyoblos.  Sebenarnya sih bukan atas kemauan sendiri, karena kalau kemauan sendiri mah saya males berat yah saya termasuk salah satu warga Jakarta yang pesimis sama kedua calon Gurbenur.  Tapi karena pembantu saya semangat banget ngebangunin saya untuk ikutan nyoblos dan Pak RT juga udah heboh ngejakin nyoblos sejak jauh-jauh hari yah udah sih ikutan aja.

Nah biar kelihatan manis pas nyoblos, saya dandan dulu dong...hehehehehe...bagi saya dandan itu bikin semangat untuk nyoblos.  Hari itu saya pake eyeliner biru, eyeliner hitam, maskara hitam, pensil alis coklat, blush pink maybeline dan lipstick pink maybeline.....lumayan bisa bikin mata ngantuk saya jadi segar.


Ini dia surat suaranya....No. 1 Bang Kumis No. 2 Pak De Joko....lama juga saya di bilik suara bingung mana yang mau saya pilih....boleh kah saya golput??  Ah udah setengah jalan sekalian aja nyoblos....blooossss.....pilihannya????  RAHASIA DONG....tapi siapapun pilihannya mudah-mudahan bisa membuat Jakarta lebih baik.


Setelah itu jari kelingking dikasih tinta.  Padahal baru ngasih Cutex tapi demi PEMILUKADA harus dirusak.  Jadi tolong yah Bapak Gurbenur yang baru jangan sia-siakan Cutex baru saya....jadilah Gurbenur yang membuat Jakarta lebih baik dan nyaman.

Rabu, 19 September 2012

Lost In Translation di Palu

Lama juga gak nge-blog gara-gara gak mood dan saya liburan ke Palu sekaligus juga menghadiri pernikahan Sepupu saya Bram.  Akhirnya saya menginjakan kaki di Palu, setelah selama ini cuma tahu namanya doang gara-gara adik bungsu Mama tugas disana sebagai PNS di BKKBN.

Pernikahannya lumayan menyenangkan, walaupun tidak memakai adat tertentu karena baik pengantin perempuan dan pria merupakan campuran dari berbagai macam suku, namun kehadiran sisi Ambon dan Makassar keluarga Mama membuat saya bersemangat.  Jadi dibela-belain cuti demi pernikahan ini biar bisa ketemu sama keluarga besar Mama yaitu keluarga besar Noya dan keluarga besar Maipi.  Sayangnya pas hari-H, Mama sakit jadi saya cuma satu jam di pernikahan terus menemani Mama balik ke Hotel.  

Lucunya karena ada sedikit accident di Pesta, keluarga Mama menyusul ke Hotel yang akhirnya Pesta keluarga Noya kemudian berlanjut di Hotel sambil menemani Mama.  Jadi pas mau fot keluarga orang-orang pada menghilang.....hehehehehehehe.....

Anyway Kota Palu itu ternyata indah yah sayangnya orang Palu belum sadar kalo Kota mereka yang dikelilingi oleh gunung-gunung, terletak di pinggir pantai dan ada sungai besar yang melintas itu indah sehingga jangan heran kalau Kotanya seperti kurang/ sama sekali tidak terawat.  

Kayaknya sudah waktunya nih PEMDA Palu mulai membenahi Kota nan indah ini agar bisa dinikmati oleh para Traveler.  Bayangkan saja ketika duduk di tepi Pantai, kita bisa melihat pemandangan laut dengan latar belakang gunung yang hijau.....haduuuuuhhhhhh indah sekali.  Sayangnya pembangunan yang terkesan tidak selesai membuat pemandangan itu rusak.....nyebelin.


Selain menikmati Kota Palu, saya juga sempat bertemu dengan keluarga Mama dari pihak Oma.  Kebetulan Oma saya orang Masamba, desanya namanya Maipi.  Ciri khas orang-orang asli Maipi adalah kulit mereka putih dan wajah mereka cantik, kalau prianya tampan (sumpah saya gak boong......)....kulit mereka rata-rata putih mulus, mata belok, bibir penuh dan hidung panjang membuat mereka diperkirakan keturunan Bajak Lalut Portugis.  Jarang sekali saya melihat Maipi berkulit hitam dan berhidung pesek, jika wajahnya dibawah standart maka biasanya mereka sudah campuran seperti saya yang mewarisi kulit sawo matang dari pihak Opa dan Bapak saya.

Disana kami banyak bercerita tentang Opa.  Opa saya adalah Edward Noya, orang Ambon yang termasuk orang pertama yang memperkenalkan pendidikan di Maipi.  Opa Noya ini sudah mengajar di Maipi sejak jaman Belanda.  Bahkan sempat dikejar-kejar oleh Belanda, Jepang dan tentara Kahar Muzakar gara-gara profesinya sebagai guru, tentu saja dengan alasan berbeda-beda.

Ada seorang Kakek (Uwak Mama) yang ternyata salah seorang murid Opa.  Beliau bercerita lancar dalam Bahasa Makassar (atau Bahasa Bugis Maipi yah....) tentang Opa.  Mulai bagaimana Opa harus bersembunyi dari kejaran Belanda sampa dikejar-kejar Gerombolan Kahar Muzakar agar beliau bisa mengajar tentara Kahar di dalam hutan.  Sayangnya karena saya gak bisa berbahasa Makassar, saya berasa lost in translation.  Namun yang membuat saya terharu ketika Kakek itu bercerita bahwa Opa saya adalah seorang Pahlawan yang membuka wawasan pendidikan orang-orang di Maipi.  Bagi saya itu amat berarti melebihi Pahlawan yang mendapatkan bintang jasa dari pemerintah.  Lebih baik dianggap Pahlawan dengan tulus di Maipi dari pada menjadi Pahlawan namun penuh kontroversi.

Walaupun ada beberapa bagian dari cerita Kakek tidak saya mengerti namun dengan bantuan Om saya akhirnya saya bisa menyambungkan puzzle kehidupan Opa Noya yang saya ingat samar-samar karena ketika beliau meninggal saya masih terlalu kecil untuk mengingatnya.

Lucunya lagi, Kakek yang bercerita itu ternyata mantan pengawal istri Kahar Muzakar jadi termasuk orang yang mengejar-ngejar Opa di tahun 50-an.....hehehehehehehehehe.....perang saudara memang aneh yah.  Namun Kakek bilang bahwa Opa saya tidak akan dibunuh, hanya diminta mengajar tentara Kahar Muzakar yang saat itu masih berusia remaja.  Namun Opa saya memilih untuk melarikan diri ke Palopo dengan bantuan teman main Bridge-nya yang seorang TNI.

Ternyata pergi ke Palu walaupun repot tapi tidak sia-sia.  Kepingan perjalanan hidup Opa saya mulai terkumpul dari cerita-cerita kerabat keluarga Maipi maupun Noya.  Rasanya ingin saya tuliskan dalam sebuah buku.  Suatu hari saya ingin menulis buku tentang Opa Noya, karena konon Opa saya termasuk seorang intelektual Ambon yang kemudian memilih untuk mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan di sebuah desa kecil di Masamba bernama Maipi.

Selasa, 04 September 2012

Suatu Siang bersama Bapak, Under Fire dan Nick Nolte

Kalau ada yang bisa menghubungkan saya dan Bapak selain berenang, adalah buku dan film.  Kami berdua sama-sama suka buku dan film.  Khususnya film, Bapak agak-agak ambisius memperkenalkan film kepada saya sejak masih kecil.  

Minggu lalu saya akhirnya pasang TV Kabel, karena masih awal jadi semua channel dibuka semua sama operatornya.  Pas juga Bapak ada di Jakarta, jadi Bapak puas deh nonton TV Kabel.  Sebagai orang yang dilahirkan ketika manusia mengandalkan surat dan telegram sebagai alat komunikasi, Bapak itu gaptek (yang kebetulan menurun kepada saya), jadi Bapak gak bisa masang DVD Player apalagi Xbox (bahkan untuk ada SMS yang masuk ke HP bisa bikin Bapak teriak-teriak panik), sehingga hiburan satu-satunya adalah Televisi.

Salah satu channel yang tersedia di TV Kabel adalah MGM.  Channel ini menayangkan film-film klasik, yang kebetulan sebagai anak gaul jaman dulu, hampir semua sudah Bapak tonton dan ingin Bapak tonton.  salah satunya adalah film Under Fire yang bintangi oleh Nick Nolte produksi tahun 1983.  

Film Under Fire ini berdasarkan kisah nyata Billy Stewart, seorang journalist Amerika Serikat yang meliput Perang Saudara di Nicaragua, antara Pemerintah Somoza dan Pemberontak Sandinista pada tahun 1979.  Billy Stewart kemudian tewas ditembak oleh tentara Somoza.  Peristiwa penembakan itu terekam oleh Juru Kamera Jack Clark.  

Rekaman ini kemudian ditayangkan berulang-ulang dan mengakibatkan Pemerintahaan Jimmy Carter mengurungkan niatnya untuk membantu Somoza, sehingga tak sampai sebulan sejak pembunuhan Stewart, pemberontakan Sandinista menang dan menguasai Nicaragua (sadar kan kalau kamera itu mematikan daripada senjata).

Film Under Fire ini tidak 100 persen mengambil kisah Billy Stewart sehingga dibuatlah tokoh rekaan bernama Russel Price seorang wartawan foto yang kemudian tewas ditangan tentara Somoza.  Tipikal film produksi Hollywood yang harus mendramatisasi kisah nyata.

Anyway, setelah aku perhatikan ternyata film ini susah pernah saya tonton waktu saya masih SD bersama Bapak saya tentunya.  Waktu itu saya belum tertarik dengan film-film seperti itu, saya masih "jatuh cinta" sama Rano Karno dan Yessy Gusman.  Walaupun saya gak suka, pas nonton sama Bapak, saya menikmati film Under Fire ini.  Jadi kalau dihitung saya sudah nonton film ini lebih dari 20 tahun yang lalu.....wowwww..... dan sampai sekarang saya masih menikmatinya bersama Bapak......wwwwooooooowwwwwwwww..........

Salah satu adegan yang paling fenomenal menurut saya adalah ketika Russel Price disuruh sama pemberontak Sandinista untuk memotret pemimpin mereka yang sudah tewas namun harus terlihat hidup dan diterbitkan di koran.  Alasannya agar para pengikut dan pasukannya tetap mempunya harapan dan semangat memang, sedangkan bagi dunia mereka mengumumkan bahwa Sandinista masih punya pemimpin mereka.  

Adegan ini penuh dengan dialog lucu, sakarsme dan mengingatkan saya dengan film Janur Kuning, film Indonesia tentang Perang Serangan Fajar atau 6 Jam di Yogyakarta.  Sama-sama ingin menunjukan kepada dunia bahwa pemberontak/TNI/NKRI masih ada di Indonesia.


Rasanya menyenangkan sekali-sekali kita bisa terkoneksi lagi dengan orang tua.  Mereka bisa beda jaman, beda bahasa, beda pergaulan tetapi dengan sedikit usaha kita bisa kembali berkomunikasi dengan mereka. Saya bersyukur bisa berkomunikasi dengan film, karena memang saya dididik melalui media tersebut.  Mudah-mudahan akan banyak lagi hal yang bisa kami bicarakan lagi.




Cari Blog Ini