Poligami masih
merupakan kontroversi, bahkan sampai sekarang jika ada diskusi tentang poligami
maka akan berakhir dengan debat kusir.
Saya sendiri pernah menyaksikan debat tentang hokum poligami yang
berakhir dengan penghujatan satu sama lain.
Satunya bilang itu sudah hukum Allah SWT, satunya lagi bilang “anda
sudah menginjak hak perempuan”.
Walaupun saya
sendiri bukan “pengikut” poligami, namun bagi beberapa orang poligami adalah
jalan terbaik mereka untuk menjalani hidup.
Bahkan saya pernah membaca seorang pengusaha perempuan yang mampu secara
financial dan berpendidikan rela dinikahi oleh pria beristri dan beranak enam,
agar sebagai perempuan dia merasa utuh dapat menjadi istri dan melayani
suami. Hebatnya lagi istri pertama sama
sekali tidak keberatan bahkan mendukung, karena dia merasa sudah berbuat baik
menolong madunya itu.
Namun jangan
salah poligami juga bukan hal yang mudah, sehingga tak jarang bukannya menjadi
sumber kebahagiaan, malah menimbulkan masalah yang akhirnya merugikan kedua
belah pihak dan parahnya lagi menimbulkan efek negatif pada anak-anak. Lihat saja kasus poligami Limbad, Rhoma
Irama, bahkan salah seorang tetangga saya yang berpoligami harus menghadapi
masalah dengan kedua anaknya yang terkena depresi dan stress dan menjadi pasien
psikiater.
Saya tidak mau
berpolemik tentang poligami dalam blog posting saya kali ini, karena seperti
yang tulis diawal bahwa setiap diskusi tentang poligami akan berakhir menjadi
debat kusir. Namun saya perhatikan politikus
yang berpoligami atau mengusung poligami dalam programnya gak pernah “menang”
dalam PEMILU (dalam pemilu jujur dan adil).
Yup, kita
memang pernah mempunyai Presiden, Wakil Presiden dan Menteri yang
berpoligami. Tapi mereka selalu punya
“Ratu/ First Lady” yang akan mendampingi mereka ketika ada acara-acara
kenegaraan. Sedangkan istri kedua hanya menjadi perempuan – yang – gak – bisa –
disebutkan – namanya – dan – akan – pernah – dilihat – public itu kemudian
berakhir menjadi bayangan istri pertama.
Seperti pelawak Komar yang gak pernah terlihat membawa Ibu Komar.
Dan
pemimpin-pemimpin seperti ini tidak pernah dipilih melalui PEMILU yang jujur
dan adil. Lihat saja Soekarno mengangkat dirinya menjadi Presiden
“seumur hidup” ketika dia menikahi sejumlah perempuan dan Hamzah Haz hanya
menjadi wakil Presiden bahkan bukan rakyat yang memilih tetapi MPR/ DPR.
Saya
perhatikan masyarakat Indonesia
yang beragama Islam masih takut dengan konsep poligami. Mereka tahu bahwa dalam ajaran Islam,
poligami diperbolehkan namun mereka gak bisa membohongi kata hati bahwa mereka
gak setuju dengan poligami. Bahkan jika
politisi itu mempunyai program-program menarik dan bagus tetap saja poligami
akan menjadi batu sandungan. Jika saya
bisa mengutip kata-kata @ulil Ulil Absar Abdala di blognya “Pemilih di Indonesia masih
memilih pempimpinya karena personalnya bukan karena program-program yang
ditawarkan calon peserta PEMILU”.
Saya memang
bukan ahli politik apalagi pengamat social, saya hanyalah perempuan biasa,
seorang pemilih biasa (yang ikut PEMILU
ketika ingat dan melupakan haknya ketika gak sempat ikutan PEMILU) dan
Warga Negara Indonesia
kelas menengah. Saya juga gak menjadi
kader manapun. Tetapi saya punya
keyakinan bahwa Rhoma Irama hanyalah penggembira dalam “kegilaan” demokrasi
negara ini. Saya gak yakin dia bisa
terpilih menjadi Presiden negeri ini, apalagi track record-nya selain poligami,
dia juga memakai “black campaign” ketika menjadi juru kampanye Gurbernur
Jakarta.
Jadi kalau
pemilih perempuan sekitar 50 persen dari keseluruhan pemilih di Indonesia, dan
30 persen menolak poligami ditambah non-muslim sekitar 20 persen yang kecewa
akan black campaign Bang Haji, ditambah lagi dengan pria-pria beragama Islam
yang tidak setuju dengan poligami sekitar 30 persen sampai dengan 40 persen (bahkan saya yakin akan lebih banyak pria
gak setuju dengan poligami ala Bang Haji), maka Rhoma Irama akan kalah
bahkan sebelum “berperang”. Bahkan
ketika dia mengeluarkan juru pamungkas yaitu jurus halal – haram, dosa dan
pahala, saya yakin sekarang masyarakat Indonesia
gak “makan” bulat-bulat itu semua.
So, nikmati
saja sepak terjang Raja Dangdut ini.
Anggap saja sinetron dalam kehidupan ditulis oleh para politikus kurang
kerjaan dan sepertinya akan lebih lucu daripada Opera Van Java. Karena alangkah lucunya seorang pemimpin jika
dia gak pernah mengurus surat nikahnya meskipun
sudah beberapa tahun menikah, yang artinya dia sendiri tidak percaya dengan hokum
yang berlaku dengan negara ini…..hehehehehehehe….jadi aneh saja memilih orang
yang gak percaya dengan hukum Indonesia.
2 komentar:
like ur post apalagi alinea penutupnya ^^.. salam kenal ya jeung
@narcist angel terima kasih....^_^ salam kenal juga....
Posting Komentar