Sebelum saya mengetik blog ini saya melihat seorang rekan cameraman
News sedang bersiap berangkat menuju Komdak. Agaknya dia terlibat dalam
tugas “melindungi” Nazaruddin agar kepulangannya transparan di mata
rakyat negeri ini.
Seperti biasa saya menanggapi kepulangan Bung Nazar dengan sinis dan
pesimis karena pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya jika melibatkan
keluarga dan kroni Istana Negara pasti nantinya akan hilang bagaikan
kabut di pagi hari, tebal begitu kena sinar matahari langsung lenyap tak
berbekas. Jadi bagi saya buat apa pemerintah membuang uang 4 milyar
hanya untuk seorang Nazar, mending jemput saja dia dengan pesawat
Hercules milik TNI AU.
Pulangnya saya mendengarkan lagu Beta Belayar Jauh yang dinyanyikan Van
Dijck Band sebuah Band yang terdiri dari keturunan Ambon di Belanda.
Saya jadi ingat buku yang baru-baru ini saya baca berjudul
Nasional.Is.Me karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo, atau yang lebih
dikenal dengan Pandji. Kenapa bisa lagu Beta Berlayar Jauh terhubung
dengan buku Nasional.Is.Me, karena keduanya menyiratkan sebuah kerinduan
akan kampung halaman yang besar bernama Indonesia dimana sejauh-jauhnya
mereka melangkah dan melangla buana namun kecintaan akan Indonesia
tetap dalam.
Tentu saja bukan cinta yang ditanam paksa oleh pendidikan dan brainwash
ala orde baru, tapi mencintai Indonesia dengan fakta, data dan logika
bahwa negeri dan negara ini masih pantas untuk dihargai oleh warga
negaranya.
Salah satunya adalah Pandji menerangkan bahwa ekonomi Indonesia tidak
seburuk yang orang lain kira. Ekonomi kita masih ada harapan bahkan
maju, buktinya negeri Khatulistiwa ini masih diincar oleh para
investor. Bahkan bisa masuk dalam negera G20.
Juga dengan masalah pendidikan yang selama ini diberitakan negatif.
Menurut Penyiar Radio ini pendidikan Indonesia masih baik,
buktinyaanak-anak negeri ini masih bisa “bicara” di olimpiade-olimpiade
sains tingakat dunia. Bahkan di Amerika Serikat sudah mulai
memperhatikan kepintaran orang-orang dari Indonesia bahkan mereka mulai
merasakan adanya “ancaman” kepintaran tersebut karena di negara adi daya
ini tingkat pendidikan rakyat mulai (cendrung) menurun akibat
“kemudahan” pendidikan yang diberikan pemerintahnya. Bahkan Bill Gates
menyatakan pada 2020, hampir semua lowongan kerja bergaji tinggi akan
diisi oleh orang-orang yang berasal dari India, China dan INDONESIA.
Praktek Demokrasi di Indonesia pun dibahas dalam buku ini. Indonesia
adalah termasuk negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika
Serikat dan India. Namun persentase tingkat keikutsertaan Pemilu
Indonesia lebih besar daripada Amerika Serikat. Kestabilan politik pun
lebih tinggi daripada India. Buktinya di Indonesia belum pernah ada
Kepala Pemerintahan ditembak oleh pengawalnya seperti Indira Ghandi, dan
ditembak ketika sedang kampanye seperti Rajiv Ghandi.
Dalam bidang kerukunan beragama pun Indonesia relatif kondusif.
Bandingkan saja dengan negara jiran Malaysia. Kebebasan beragama masih
dikekang oleh pemerintah. Bahkan ada batasan bagi pemeluk agama lain
dalam menyebut nama Tuhan sebagai Allah.
Asyiknya di buku ini bukan hanya dibahas keunggulan Indonesia namun juga
fakta menarik tentang terbentuknya Indonesia. Menurut buku ini,
Indonesia terbentuk bukan berkat Majapahit tetapi berkat penjajahan
Belanda, yang akhirnya membuat orang-orang yang memilik persamaan nasib
ini membentuk sebuah negara yang bernama Indonesia. Mirip sekali dengan
pernyataan penulis Agustinus Wibowo dalam bukunya Garis Batas (lain
kali akan saya tulis resensinya).
Fakta yang amat menarik adalah ternyata Indonesia merdeka berkat
orang-orang yang berpaham sosialis dan komunis, seperti Tan Malaka,
Sutan Sjahrir dan Amir Syarifuddin. Namun sayang jasa-jasa mereka
dihapus oleh sejarah karena mereka adalah komunis dan sosialis. Sudah
saatnya bangsa ini membuka mata mereka tentang tokoh-tokoh yang haram
disebutkan dalam sejarah Republik ini, bahwa karena merekalah kita bisa
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan tanggal 23 Agustus atas
saran Jepang atau 1970-an atas saran Belanda.
Saya setuju bahwa negara Indonesia adalah Desa Galia di komik Asterix,
yang tiada hari tanpa berkelahi namun ketika ada musuh, maka bangsa ini
tiba-tiba bersatu menjadi kesatuan. Lihat saja jika kita dicolek
sedikit oleh Malaysia, maka anda bisa melihat semangat patriotisme
berkobar di dada seakan menghapus perbedaan dan masalah yang ada.
Namun saya kembali setuju juga dengan Pandji, ketika dia mengatakan
alangkah lebih baik lagi jika kita bisa mengibarkan bendera Merah Putih
di Malaysia, tentunya bukan menduduki Malaysia itu sama saja cari
penyakit baru (walaupun saya yakin bisa saja sih terjadi :D), namun
berprestasi di negara jiran sehingga bisa mengibarkan bendera Merah
Putih, seperti Bambang Pamungkas ketika dikontrak Selangor FC. Hasilnya
dia bisa menjadi Top Scorer (mohon maaf saya tidak tahu istilah
peng-gol terbanyak dalam sepak bola). Siapa lagi dong yang ikut bangga
kalau bukan rakyat Indonesia.
Dalam buku ini, Pandji juga menyarankan bahwa rakyat Indonesia tidak
hanya mengkritik pemerintah atau mengeluh akan keadaan, tetapi juga
proactive dengan keadaan dan masalah. Banyak cara yang sudah dilakukan
Pandji, seperti kegiatan Indonesia Unite, Coin For Prita sampai dengan
menjadi pendonor tetap bagi penderita Thalassemia. Toh, mengeluh atau
mengkritik tidak akan membawa perubahan jika kita tidak bertindak. Jika
mengeluh macet kenapa nggak mencoba menguranginya dengan naik kendaraan
umum misalnya. Kecil sih tapi dampak luar biasa.
Jadi sepesimis apapun pandangan kalian tentang negeri ini, cobalah
membaca buku ini apalagi sudah dekat tanggal 17 Agustus mungkin ini akan
menyegarkan rasa nasionalisme kalian seperti waktu kelas 1 SD dulu.
Saya setuju dengan Pandji, Republik berasaskan Pancasila ini layak untuk
dicintai dan didukung walaupun ditengah pesimisme ketika menyaksikan
drama (kelas teri) Nazaruddin dan juga usaha beberapa kelompok yang
ingin menghapus Pancasila sebagai asas negara sekaligus “menjanjikan”
bahwa itulah jalan yang terbaik. Saya tidak ingin negara ini berubah
asas menjadi asas apapun selain Pancasila karena saya yakin Indonesia
tidak hanya dibentuk oleh sekelompok orang tertentu namun dibentuk oleh
sebuah bangsa, bernama Bangsa Indonesia.
Tulisan ini saya persembahkan buat kerabat Bapak saya yang
sudah berjasa besar pada Republik ini tetapi hanya karena perbedaan
pandangan politik harus “menghilang” ditelan jaman. Buat Opa saya
dengan segala kepercayaannya kepada Republik ini bahkan hampir dibayar
oleh nyawanya ketika begitu banyak kesempatan untuk bisa pergi ke
Belanda. Indonesia memang patut diperjuangkan dan dipertahankan.
Tulisan ini pernah saya posting di Kompasiana...jadi kalau ada yang pernah baca beneran lho ini tulisan saya....sumpah.....