Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Senin, 08 April 2013

TNI Sumber Kebanggaan Kami dan Kesedihan Kami

Sejak kecil, saya diajarkan untuk tidak menjadi tentara, karena Mama saya pernah mengalami perang saudara jaman Kahar Muzakar.  Sehingga imej tentara bukan imej yang menyenangkan karena saat itu tentara dari Jawa dengan mudahnya mengintimidasi rakyat.  Bukannya keluarga kami tidak ada yang jadi tentara, kedua ipar Bapak saya jadi tentara, kakak perempuan Mama adalah Kowal tetapi tentara bukan pilihan yang harus dicentrang dalam kehidupan kami.

Jadilah saya sama tentara gak pernah merasa takut, apalagi tinggal di Kompleks Pertamina yang gak pernah berhubungan langsung dengan tentara makanya kami biasa aja sama tentara.  Bahkan ketika tahun 98, saya termasuk yang anti sama TNI.  

Masih jelas di ingatan saya TNI-Polri menyerbu kampus saya UGM, untuk mengejar para demonstran 98.  Bahkan teman saya dipukulin dan ditendang sampai masuk RS.  Sampai akhirnya dia bisa menelpon salah seorang rekan kami yang kebetulan anak Kolenel AU, baru dia bisa dibebaskan dan masuk RS.

Saya mulai menghormati TNI setelah saya menonton film Taking Chance yang dibintangi Kevin Bacon.  Film ini cerita tentang seorang tentara Amerika yang secara sukarela mengantar jenazah seorang Prajurit yang pangkatnya jauh dibawah dia.  Selama perjalanan, dia mengurus perpindahan jenazah dari satu pesawat ke pesawat lain sampai akhirnya dia menyaksikan rakyat Amerika yang begitu menghormati prajurit tersebut, terbukti setiap jenazah dipindahkan maka semua petugas bandara akan melepaskan topi dan diam bahkan penumpang pun ikut berdiri diam.  Ketika mereka berada mobil di jenazah, tidak ada mobil yang berusaha mendahului, bahkan ikut iring-iringan sambil menyalakan lampu mobil seakan memberikan perhormatan terakhir mereka pada prajurit yang barangkali tidak pernah mereka temui sebelumnya.  Dan itu kisah nyata.


Dari film itu saya menyadari sebenarnya jadi TNI itu susah.  Mereka selalu ada di garis depan jika tiba-tiba tentara Malaysia punya ide untuk menembakan senjata mereka atau ketika tentara Fretilin mulai iseng-iseng mencoba golok mereka ketika masa-masa Timor Timur.  Saat itu kita hanya bisa teriak HAM ketika para tentara harus berhadapan dengan panah-panah Gerakan Separatis Papua.  

Gilanya lagi masa depan keluarga mereka juga susah karena sampai saat ini anggota TNI dan Kepolisian susah untuk ikut asuransi.  Bisa dibayangkan sudah bertaruh nyawa eeehhh masa depan keluarga yang ditinggalkan juga gak jelas.

Kebetulan saya rumah saya bertetangga dengan kompleks Marinir KKO di Cilandak.  Ketika mereka akan dikirim untuk mewakili Indonesia sebagai Tentara Perdamaian PBB saya ikut mendukung, bahkan ketika iring-iringan truk mereka yang bertuliskan UN itu keluar saya dan Bapak sengaja menghentikan motor dan memandangi mereka sebagai rasa hormat saya kepada mereka yang akan bertugas di garis depan.

Tetapi sayangnya karena mereka merasa sebagai orang garis depan, sering membuat mereka arogan.  Di Cilandak, jangan heran melihat Marinir seenaknya naik motor tanpa helm dan merasa yang punya jalan dengan kebut-kebutan dan "buta" sama yang namanya rambu lalu lintas.

Apalagi kemudian ada kasus penembakan di LP Cebongan Yogyakarta, dimana 4 tahanan tersangka kasus pembunuhan anggota Kopassus ditembak mati di dalam sel, di depan 30-an tahanan yang lain.  Saya sama sekali gak mendukung tindakan tersebut, walaupun pada saat yang bersamaan saya juga gak mendukung premanisme.

Main hakin sendiri itu gak pernah bisa dibenarkan bahkan gilanya lagi ada mengusulkan untuk memberikan mereka bintang jasa.  Ini sama saja kita menganggap pahlawan orang-orang yang gebukin maling sampai mati, kan mereka juga mengurangi maling yang meresahkan masyarakat.

Terlalu dangkal jika jiwa persaudaraan tentara hanya dijadikan ajang main hakin sendiri dan show off keahlian serbu mereka, ketika kita sendiri bahakan tentara marah pada pelajar yang tawuran atas nama solidaritas pertemanan di kalangan mereka. 

Saya masyarakat biasa, bukan ahli, bukan anggota KOMNAS HAM apalagi KONTRAS tetapi saya sama sekali tidak bisa menerima pernyataan petinggi atau mantan petinggi TNI yang membenarkan gerakan mereka menyerbu LP Cebongan, apalagi mereka tega melukai sipir penjara yang notabene gak berdosa sama mereka.  Apa jadinya negara ini jika semua orang dilegalkan untuk main hakim sendiri?  Hanya kita yang bisa menjawabnya dengan kepala dingin.

Bahkan setelah kasus LP Cebongan saya masih menghormati TNI tetapi tolonglah para petinggi TNI janganlah anda membuat polemik dengan membenarkan dan pembenaran "jiwa korsa" yang salah kaprah.  Berlapang dada untuk mengakuinya saja membuat saya angkat topi untuk kalian.  Sekaranglah waktunya TNI lebih terbuka lebih ramah kepada rakyat.  Jangan lunturkan kebanggaan kami kepada kalian dengan kesedihan menghadapi "kebohongan" kalian lagi.



Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini