Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Rabu, 19 September 2012

Lost In Translation di Palu

Lama juga gak nge-blog gara-gara gak mood dan saya liburan ke Palu sekaligus juga menghadiri pernikahan Sepupu saya Bram.  Akhirnya saya menginjakan kaki di Palu, setelah selama ini cuma tahu namanya doang gara-gara adik bungsu Mama tugas disana sebagai PNS di BKKBN.

Pernikahannya lumayan menyenangkan, walaupun tidak memakai adat tertentu karena baik pengantin perempuan dan pria merupakan campuran dari berbagai macam suku, namun kehadiran sisi Ambon dan Makassar keluarga Mama membuat saya bersemangat.  Jadi dibela-belain cuti demi pernikahan ini biar bisa ketemu sama keluarga besar Mama yaitu keluarga besar Noya dan keluarga besar Maipi.  Sayangnya pas hari-H, Mama sakit jadi saya cuma satu jam di pernikahan terus menemani Mama balik ke Hotel.  

Lucunya karena ada sedikit accident di Pesta, keluarga Mama menyusul ke Hotel yang akhirnya Pesta keluarga Noya kemudian berlanjut di Hotel sambil menemani Mama.  Jadi pas mau fot keluarga orang-orang pada menghilang.....hehehehehehehe.....

Anyway Kota Palu itu ternyata indah yah sayangnya orang Palu belum sadar kalo Kota mereka yang dikelilingi oleh gunung-gunung, terletak di pinggir pantai dan ada sungai besar yang melintas itu indah sehingga jangan heran kalau Kotanya seperti kurang/ sama sekali tidak terawat.  

Kayaknya sudah waktunya nih PEMDA Palu mulai membenahi Kota nan indah ini agar bisa dinikmati oleh para Traveler.  Bayangkan saja ketika duduk di tepi Pantai, kita bisa melihat pemandangan laut dengan latar belakang gunung yang hijau.....haduuuuuhhhhhh indah sekali.  Sayangnya pembangunan yang terkesan tidak selesai membuat pemandangan itu rusak.....nyebelin.


Selain menikmati Kota Palu, saya juga sempat bertemu dengan keluarga Mama dari pihak Oma.  Kebetulan Oma saya orang Masamba, desanya namanya Maipi.  Ciri khas orang-orang asli Maipi adalah kulit mereka putih dan wajah mereka cantik, kalau prianya tampan (sumpah saya gak boong......)....kulit mereka rata-rata putih mulus, mata belok, bibir penuh dan hidung panjang membuat mereka diperkirakan keturunan Bajak Lalut Portugis.  Jarang sekali saya melihat Maipi berkulit hitam dan berhidung pesek, jika wajahnya dibawah standart maka biasanya mereka sudah campuran seperti saya yang mewarisi kulit sawo matang dari pihak Opa dan Bapak saya.

Disana kami banyak bercerita tentang Opa.  Opa saya adalah Edward Noya, orang Ambon yang termasuk orang pertama yang memperkenalkan pendidikan di Maipi.  Opa Noya ini sudah mengajar di Maipi sejak jaman Belanda.  Bahkan sempat dikejar-kejar oleh Belanda, Jepang dan tentara Kahar Muzakar gara-gara profesinya sebagai guru, tentu saja dengan alasan berbeda-beda.

Ada seorang Kakek (Uwak Mama) yang ternyata salah seorang murid Opa.  Beliau bercerita lancar dalam Bahasa Makassar (atau Bahasa Bugis Maipi yah....) tentang Opa.  Mulai bagaimana Opa harus bersembunyi dari kejaran Belanda sampa dikejar-kejar Gerombolan Kahar Muzakar agar beliau bisa mengajar tentara Kahar di dalam hutan.  Sayangnya karena saya gak bisa berbahasa Makassar, saya berasa lost in translation.  Namun yang membuat saya terharu ketika Kakek itu bercerita bahwa Opa saya adalah seorang Pahlawan yang membuka wawasan pendidikan orang-orang di Maipi.  Bagi saya itu amat berarti melebihi Pahlawan yang mendapatkan bintang jasa dari pemerintah.  Lebih baik dianggap Pahlawan dengan tulus di Maipi dari pada menjadi Pahlawan namun penuh kontroversi.

Walaupun ada beberapa bagian dari cerita Kakek tidak saya mengerti namun dengan bantuan Om saya akhirnya saya bisa menyambungkan puzzle kehidupan Opa Noya yang saya ingat samar-samar karena ketika beliau meninggal saya masih terlalu kecil untuk mengingatnya.

Lucunya lagi, Kakek yang bercerita itu ternyata mantan pengawal istri Kahar Muzakar jadi termasuk orang yang mengejar-ngejar Opa di tahun 50-an.....hehehehehehehehehe.....perang saudara memang aneh yah.  Namun Kakek bilang bahwa Opa saya tidak akan dibunuh, hanya diminta mengajar tentara Kahar Muzakar yang saat itu masih berusia remaja.  Namun Opa saya memilih untuk melarikan diri ke Palopo dengan bantuan teman main Bridge-nya yang seorang TNI.

Ternyata pergi ke Palu walaupun repot tapi tidak sia-sia.  Kepingan perjalanan hidup Opa saya mulai terkumpul dari cerita-cerita kerabat keluarga Maipi maupun Noya.  Rasanya ingin saya tuliskan dalam sebuah buku.  Suatu hari saya ingin menulis buku tentang Opa Noya, karena konon Opa saya termasuk seorang intelektual Ambon yang kemudian memilih untuk mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan di sebuah desa kecil di Masamba bernama Maipi.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini