Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Jumat, 24 Juni 2011

(Review) Film Serdadu Kumbang “Pesan Apakah yang Ingin Disampaikan”

Saya selalu menyambut gembira hadirnya Film Indonesia yang menggugah hati di ranah layar lebar Indonesia yang semakin sesak dengan segala keseronokannya.  Jadi begitu saya tahu film besutan pasangan suami istri Nia dan Ale Sihasale main di bioskop, secara impulsif saya membeli tiketnya.  Padahal biasanya saya selalu membaca dulu review film agar jiwa saya yang butuh hiburan cerdas dapat terpenuhi (iiiihhhhhh congkak sekali yah saya)
 
Serdadu Kumbang, bercerita tentang seorang anak laki bernama Amek yang diperankan dengan apik oleh Yudi Miftahudin.  Terlepas dia menderita bibir sumbing, kehidupan sebagai anak-anak di Desa Mantar, Sumbawa Besar, NTB begitu menyenangkan.  Seakan bibir sumbing hanya bagian dari wajahnya bukan cacat, kehidupan Amek begitu berwarna warni bersama kedua sahabarnya Umbe (Aji santosa) dan Acan (Fachri Azhari).

Amek sendiri tinggal bersama Ibu (Titi Sjuman) dan Kakak perempuannya yang rajin dan pintar bernama Minun.  Sedangkan ayah Amek sedang menjadi TKI di Malaysia, yang kemudian membuat Amek nekat menukarkan kambing milik keluarganya demi membeli HP agar bisa menelpon ayahnya.

Selain masalah keluarga, Film ini juga ingin mengkritik pendikan dan sistem pendidikan Indonesia.  Banyak yang ingin disampaikan dari kekerasan dalam pendidikan yang diwakili oleh Alim (Lukman Sardi), guru yang terkenal disiplin bin killer, sampai guru yang hanya mengukur kemampuan murid dari lulus tidaknya ujian yang diperankan dengan baik sekali oleh Dorman Borisman.

Favorit saya adalah tokoh Kiai desa yang diperankan oleh Putu Wijaya.  Disini beliau ingin menggambarkan bahwa kebijaksanaan seseorang tidak dapat dibeli dengan gelar sarjana atau jabatan guru, namun hanya diperoleh dari belajar dan kerendahan diri.

Selain itu film ini sarat dengan humor dan dialog yang cerdas, yang dibuat secara natural.  Sehingga jangan heran sepanjang film kita akan tertawa.  Sayangnya walaupun film anak-anak, film terlalu susah untuk ditangkap oleh penonton anak-anak.  Bahkan penonton anak-anak yang menonton bersama saya, hanya mempermasalahkan/ mentertawakan sumbingnya bibir Amek.

Film produksi Alenia sayangnya terlalu banyak pesan ingin disampaikan bahkan masalah TKI asal Sumbawa yang diwakili tokoh Zack ayah Amek pun dibahas.  Tak heran sampai pada akhir film alur ceritanya dipaksa habis dan menggantung.  Bukan hanya itu, menonton film ini seakan menonton film produksi jaman orde baru sakin banyaknya yang ingin disampaikan, seakan penonton dipaksa untuk menjejalkan ide dan kritik terhadap sistem pendidikan Indonesia yang buruk. Saking banyaknya kritik sampai saya sempat berpikir apakah pasangan Ale dan Nia Sihasale begitu tidak sukanya dengan sistem pendidikan Indonesia.

Hal yang lain yang tidak saya suka adalah adegan Amek dan kawan-kawan berkunjung ke Sekolah yang dikelola oleh PT. Newmont dan ketika Amek akan dioperasi oleh dokter di Rumah Sakit PT Newmont.  Saya tahu film ini disponsori oleh PT. Newmont tetapi mbok yah jangan dipaksakan adegan itu, seakan ingin menggambarkan hubungan mesra PT. Newmont dan masyarakat sekitar.  Sehingga membuat saya curiga, semakin terlihat mesra di film semakin bermasalah hubungan mereka…..:D

Satu lagi yang membuat film ini agak nanggung adalah editingnya.  Entah kenapa editing film ini agak kasar, sayang sekali sebenarnya untuk film bagus besutan sutradara Ale Sihasale.  Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa dialog terlalu kritis sehingga mungkin saja LSF tidak berkenan, contohnya saja ketika adegan Amek berpura-pura menjadi penyiar di sebuah jendela gubuk, banyak dialog kritis dan lucu keluar dari mult bocah kelas 5 SD ini.

Terlepas dari itu semua, film tetap harus dan wajib ditonton.  Bahkan saya tidak heran jika Yudi Miftahudin akan masuk dalam nominasi aktor terbaik bahkan meraih gelar aktor terbaik dalam Piala Citra.  Bocah ini berhasil membuat penonton menangis tanpa harus meraung-raung ala sinetron, termasuk juga saya.  Apalagi film ini juga berhasil membuat saya ingin berkunjung ke Desa Mantar dengan gambar-gambar yang berhasil menangkap keindahan Sumbawa.

 

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini