Majulah masuk ke dalam dunia Noni

Sebuah perjalanan hidup di pertengahan 30 tahunan...single, bahagia dan selalu mencari petualangan baru....Tinggalkan jejak anda dan ikuti jejak saya di @nonibeen

Senin, 25 Juli 2011

Kebanggan Bapak

Sejak kecil saya sudah menyadari bahwa Bapak adalah orang yang tidak dipandang dalam keluarga besarnya, karena selalu tidak punya pekerjaan tetap, selalu kekurangan uang, menikah dengan bukan dengan orang Jawa dan tingkat pendidikannya yang cuma SMA, itupun dilaluinya dengan susah payah karena keseringan gak naik kelas.  Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Bapak itu anak nakal sampai pernah ditahan polisi segala ketika masih muda.  Jadi imej kebengalannya melekat hingga sekarang.

Parahnya lagi setelah menikah dengan Mama saya yang bukan orang Jawa dan bukan dari keluarga yang berada, Bapak memiliki 4 anak yang kesemuanya dididik dengan nyeleneh.  Kami berempat sering dianggap gak sopan dan selalu berpenampilan dekil ketika kecil.  Mama saya sering kali marah-marah sama kami, jika kami sedang berkunjung ke tempat Eyang dan kami lalu bermain seenaknya tanpa mempedulikan sopan santun dan tata krama.  Bahkan dulu kalau saya lapar, saya langsung meminta makanan dari Eyang Putri tanpa istilah permisi dan menggunakan tangan kanan, sehingga Yang Ti marah besar kepada saya.  Tapi gimana dong umur saya masih 2 tahun dan saya belum tahu bedanya kanan dan kiri, ditambah lagi tangan kanan dan kiri saya punya kecedrungan sama aktifnya.

Kakak saya malah mengalami nasib yang tragis.  Karena dia seenaknya main di rumah Yang Ti saya, Bu Dek saya memarahi dia sampai Kakak saya yang umurnya tiga tahun bersembunyi di sudut ruangan dan berusaha menyembunyikan tubuhnya di belakang lemari.  Bahkan ketika Mama menemukan dia, dia dalam keadaan basah dengan air mata dan kencing di celana saking takutnya kakak saya akan kemarahan Bu De.

Beruntung akhirnya kami pindah ke Bontang, sehingga Bapak yang tadinya sering pergi ke rumah keluarga besarnya akhirnya harus menghadapi segala sesuatunya sendiri.  Ada sih saudara disana tapi terkadang lebih baik semua diurus dan ditangani sendiri.

Akhirnya kami berempat besar di Bontang , jauh dari Jakarta.  Selama 13 tahun saya di Bontang, saya hanya empat kali ke Jakarta untuk bertemu dengan keluarga besar Bapak, walaupun terasa aneh tapi toh kami baik-baik saja.
Setalah itu kakak saya lulus SMA dan sempat tinggal dengan keluarga besar Bapak.  Mama sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Bapak untuk mengajak Kakak saya tinggal bersama dengan Yang Ti, namun saat itu Bapak sudah tidak bisa dilawan sehingga dengan hati was was Mama membiarkan Kakak saya tinggal dengan Yang Ti dan keluarga adik perempuan Bapak.

Ternyata Kakak saya bisa menunjukan bahwa dia adalah anak yang baik, gak macem-macem dan pintar sehingga akhirnya dia lulus UMPTN dan pindah ke Makassar.  Setelah dia, disusul oleh saya 2 tahun kemudian untuk mencari tempat kuliah di Jakarta dan ternyata saya dapat kuliah di Yogyakarta.  Kedua adik saya tidak sempat tinggal dengan keluarga besar Bapak namun mereka menunjukan bahwa mereka pun bis akuliah di PTN bergengsi mengikuti jejak saya dan kakak saya.

Setelah lulus kuliah, kakak, saya dan kedua adik saya pun bekerja.  Kakak saya di sebuah perusahaan kimia joint venture antara Indonesia dan Jepang, saya di televisi swasta, adik saya di perusahaan pipe line lalu adik bungsu saya bekerja di BUMN yang bergerak di bidang transpotasi Gas Jawa Sumatera.  Kami memang tidak kaya namun kami juga tidak kekurangan, apalagi Mama yang pensiunan anak perusahaan Pertamina masih mempunyai beberapa hak menggunakan fasilitas perusahaan. 

Pada suatu hari untuk kesekian kalinya Bapak datang ke Jakarta untuk mengurus rumah kami di Jakarta.  Bapak menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah adiknya yang letaknya tak jauh dari rumah kami.  Kebetulan adik perempuan Bapak ini bisa dikatakan hidupnya selalu berkecukupan.  Anak-anaknya disekolahkan di sekolah bergengsi di Jakarta.  Bahkan anak perempuannya lulusan PTN bergengsi di negeri ini dengan jurusan yang tidak main-main MIPA Kimia.

Tiba-tiba saja sepupu saya bertanya kepada Bapak padahal menurut Bapak sepupu saya ini dulunya jarang sekali mau ngobrol dengan Bapak.  Mungkin dia dulu menganggap Bapak adalah produk gagal dari keluarga Ibunya.  Dia bertanya bagaimana membesarkan anak, mengasuh dan mendidik anak.  Bapak hanya menjawab singkat, anak kalau sudah mulai konsisten dilepas aja gak usah dipaksa belajar kalo dia sudah sadar diri belajar. 

Sebenarnya hal itu amat mengejutkan Bapak, sejak dulu Bapak dianggap tidak dapat mendidik anak karena kami ini waktu kecil suka ngaco beda dari anak-anak lain yang sejak kecil sudah mengenal sopan santun.  Bahkan Bapak sama sekali tidak mengenalkan agama seperti mengaji.  Semua mengalir saja tanpa banyak aturan namun tanpa kami sadari sebenarnya Bapak menerapkan banyak sekali batasan pada kami.

Bahkan Bapak dengan nada datar (tapi agak sombong) dia bilang begini "anak-anak saya memang tidak ada yang kaya dan saya pun juga tidak kaya.  Tapi saya bisa ke Jakarta pergi dan pulang, saya tidak mengeluarkan uang sepersen pun, free semua.  Sudah begitu Mamanya kemarin diajak ke Bali, gratis semua dibayarin sama anaknya.  Saya saja diajak ke Tidung sama anak-anak.  Saya cuma bawa badan semua sudah diatur sama anak-anak".

Saya langsung sadar memang kami tidak bisa memberikan yang lebih daripada itu kepada kedua orang tua saya, tetapi itu sudah amat sangat lebih baik daripada sepupu-sepupu saya yang lain karena orang tua mereka belum pernah merasakan dibayarin sama anak-anaknya, bahkan Bu De yang dulu suka memarahi kami, anak-anaknya selalu membuat masalah dan malu bagi keluarga besar.  

Saya juga akhirnya mengerti mengapa dulu Bapak saya membebaskan saya dari aturan dan sopan santun, bahkan tata krama Jawa karena Bapak ingin kami melakukan segala sesuatunya dengan tulus bukan karena dipaksa oleh orang lain untuk melakukan hal tersebut.  Bahkan kami terbiasa jadi mandiri dan speak up, sehingga kami tidak bergantung dengan saudara apalagi membawa-bawa nama saudara untuk hal-hal yang gak baik.  

Entah kenapa mendengar cerita Bapak, saya merasa bahwa biar bagaimanapun keadaan saya, betapa kecil gaji saya atau sampai setua ini saya belum menikah, Bapak selalu bangga dengan saya karena bagaimanapun saya, saya hampir tidak pernah memberikan masalah kepada Bapak, bahkan bulan lalu saya bisa mengajak Bapak jalan-jalan ke Pulau Tidung.  Saya juga ikut urunan membiayai perjalanan Bapak ke Jawa bersama kakak dan kedua adik saya.  Dan itu yang membuat saudara-saudara Bapak iri sama Bapak walaupun sekali lagi Bapak tidak kaya, paling tidak dia punya 4 anak yang akan "ada" ketika Bapak membutuhkannya.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini